GAGASAN dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan
dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun di masa
depan pendidikan itu selalu mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan sosial-budaya dan perkembangan IPTEK.
Dewasa ini
sedang didengungkannya sistem pendidikan di Indonesia yang berbasis
kepada pembentukan karakter. Para cendikia dan pemegang kebijakan mulai
menyadari bahwa karakter bangsa kita perlu dibenahi. Mengapa dibenahi?
Lihat saja negara kita berada pada peringkat atas dalam tindak korupsi.
Yang menarik lagi peringkat pertama tindak korupsi itu di lembaga
pendidikan, disusul Kementerian Agama. Karakter bangsa kita memalukan di
muka dunia. Lihat saja sikap anggota dewan, yang tertidur waktu sidang,
atau sangat agresip tanpa santun hingga baku hantam, tindak anarkis
para demonstran.
Polisi membunuh polisi, istri membunuh suami,
suami membunuh istri, bahkan anak membunuh ayah kandungnya gara-gara
minta HP. Perilaku semacam ini menunjukkan bahwa pedidikan bangsa kita
belum berhasil, kalau tidak dikatakan gagal, untuk membentuk bangsa
adiluhung/berbudaya luhur di mata dunia. Dengan kondisi yang
memprihatinkan, dewasa ini dikembangkannya sistem pendidikan yang
berbasis kepada pembentukan karakter.
Apa dan Bagaimana Pendidikan Berbasis Pembentukan Karakter?
Dengan
ditetapkan pendidikan yang berbasis kepada pembentukan karakter bangsa
ini mengingatkan kembali kepada Bapak Proklamator Soekarno dengan
slogannya "Nation Charackter Buildings" dalam setiap pidatonya yang
berapi-api, ingin menjadikan bangsa kita sebagai bangsa pejuang, yang
mementing kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, yang dinamis,
pantang menyerah, jujur, tertib sebagai bangsa religius yang adiluhung,
mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Karakter adalah sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain yang sering disebut juga tabiat, atau watak. Apakah
tabiat/seseorang terbentuk akibat dari pendidikan atau bawaan/kodrati.
Banyak pendapat bagaimana karakter seseorang terbentuk/dibentuk.
Aliran-aliran
klasik yang meliputi aliran empirisme, nativisme, naturalisme dan
konvergensi merupakan benang-benang merah yang menghubungkan
pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini dan mungkin yang akan
datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang
pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling
optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang
bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak.
Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan
tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang
berada di antara kedua kutub tersebut, yang dapat dipandang sebagai
variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
Nativisme
(terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan
suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas,
pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Secara ekstrim
Rosseou bahkan menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan
mempunyai pembawaan baik, dan tidak satupun dengan pembawaan buruk.
Namun pembawaan baik itu akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh
lingkungan.
Tidak jauh berbeda dengan halnya natuarlisme
Rosseou, penganut nativisme Arthur Schaupenhauer (1788-1860) sedikit
lebih lentur menyatakan bahwa, faktor pembawaan bersifat kodrati tidak
dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan. Untuk mendukung
teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatihan dan kursus untuk
pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih
dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi
diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena
tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.
Kelompok empirisme
dan behaviorisme berpandangan di kutub lain bahwa tabiat/watak manusia
itu terbentuk dan dibentuk sebagai akibat masukan dari luar dirinnya,
baik masukan itu disengajakan maupun secara alami. Pengalaman menjadi
dasar utama terbentuknya kepribadian seseorang. Tokoh perintis
pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke
(1632-1704) yang mengembangkan teori Tabula rasa anak lahir di dunia
bagaikan meja lilin atau kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik
yang diperoleh dari lingkungan berpengaruh besar dalam menentukan
perkembangan anak. Menurut pandangan empirisme (biasa pula disebut
environtalisme) pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab
pendidikan dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan
diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman
itu dapat membentuk perilaku yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Kedua
kutub pandangan tersebut dipertemukan dengan aliran konvergensi yang
dipelopori William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa
Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah
disertai pembawaan baik maupun buruk. Penganut aliran ini berpendapat
bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawan maupun faktor
lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang
dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya
dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu.
Sebaliknya
lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang
optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan
untuk pengembangan itu. Sebagai contoh pada hakikatnya kemampuan anak
manusia berbahasa dengan kata-kata, adalah juga hasil konvergensi.
Setiap manusia mempunyai pembawaan untuk berbicara dan melalui situasi
lingkungannya anak belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan
pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya.
Oleh karena itu, anak mula-mula mengguna-kan bahasa lingkungannya.
Bagaimana Peranan Lembaga Pendidikan dalam Membentuk karakter Peserta Didiknya?
Berbagai
pandangan di atas menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan
(sekolah, kursus-kursus, dan lemabaga perlatihan) tidak begitu
banyak/bukan satu-satunya yang memberikan andil dalam pembentukan
karakter. Sekalipun pandangan kaum behaviorisme/empirisme bahwa faktor
penentu karakter tergantung kepada masukan dan pengalaman empirik, toh
lembaga pendidikan bukan satu-satunya sumber pemberi masukan dan
pengalamaan. Masukan/input pembentuk karakter yang paling besar adalah
keluarga, diikuti lingkungan (alam dan masyarakat), baru lembaga-lembaga
formal pendidikan (sekolah). Tidak sedikit anak-anak dari orang
kaya/pengusaha besar, bahkan pejabat yang berkarakter memalukan orang
tuanya/sekolahnya, karena kehidupan sehari-hari dalam keluarganya hanya
dengaan pembantu rumah tangga saking sibuknya kedua orang tuanya.
Mereka
juga banyak bergaul dengan preman untuk mendapat kebebasan,
perlindungan. Akan tetapi, juga tidak sedikit anak-anak dari orang
besahaja bisa berkarakter sangat baik, bertaqwa kepada Tuhan Yang
Mahaesa, santun, penuh kasih sayang, menghormati orang lain, rajin,
tertib, disiplin, mau bekerja keras, pantang menyerah, merendahkan diri
dan mampu mengendalikan diri walaupun prestasi belajarnya melebihi yang
lain.
Sebenarnya sistem lembaga pendidikan di Indonesia
terus-menerus dibenahi agar berperan besar dalam menjadi anak bangsa ini
berkarakter baik. Sejak diberlakukan PPSI hingga KTSP plus Pendidikan
berkarakter, sistemnya semakin oke saja. Bahkan tenaga pengajarnya pun
ditingkatkan statusnya menjadi TENAGA PENDIDIK PROFESIONAL, dengan
diberi tunjangan profesi sebesar gaji pokoknya. Apakah kiat ini akan
mengubah prinsip-prinsip proses terbentuk karakter manusia. Tentu saja
tidak. Tapi barangkali sekolah akan memiliki peranan besar dalam
pembentukan karakter jika didukung oleh orang tua/keluarga anak,
lingkungan (alam dan masyarakat), kondisi lembaga pendidikan, dan
kebijakan.
Namun, sering terjadi penyimpangan sistem, pemegang
kuasa kebijakan berupaya untuk memperoleh nama baik di depan
masyarakat/keberuntungan dan kemajuan lembaganya. Sebagai contoh ada
beberapa perguruan tinggi swasta yang memberikan kemudahan-kemudahan
terhadap mahasiswa/calon mahasiswa. Mahasiswa di perguruan tingginya
lulus dengan IPK paling rendah 3 dengan masa studi paling lama 8
semester. Tak pelak, pergurun tinggi semacam ini memiliki jumlah
mahasiswa yang fantatis, bisa dibayangkan untuk satu program studi dalam
tiap tahun angkatan yang diterima mencapai 13 kelas paralel, per kelas
50 hingga 60 mahasiswa (tanpa seleksi). Kondisi yang tidak rasional
dengan infrastruktur maupun dosen tetapnya.
Bagaimana Prinsip KBK/KTSP dengan Belajar Tuntas (Mastering Learning) dalam Pembentukan Karakter?
Sistem
pembelajaran ini mempunyai andil yang sangat positif untuk menghasilkan
lulusan yang berkarakter baik, asal dilaksanakan secara
bersungguh-sungguh dengan persyaratannya. Prinsip pembelajaran tuntas
antara lain menggariskan bahwa setiap satuan materi hendaknya terserap
oleh peserta didiknya secara tuntas. Ukuran ketuntasannya adalah
serendah-rendahnya 75% dari semua indikator pembelajaran terserap oleh
peserta didiknya. Jika belum tuntas terserap hingga 75%, perlu diadakan
perbaikan-perbaikan (remidial). Remidial bukan berarti ujian ulang,
tetapi perlu diadakan diagnosis baik dalam kelompok atau perorangan, apa
saja yang menyebabkan topik tertentu belum dipahami. Dalam hal ini
bukan berarti guru memaksakan kehendaknya tetapi sebagai konselor,
motivator mitra belajar agar mampu membedah kesulitan belajar siswa atau
mahasiswa yang dihadapinya, secara jujur, terbuka, bersahabat.
Kondisi
yang diciptakan adalah agar mereka termotivasi mencari ilmu pengetahuan
bukan skor tesnya semata. Remidial dapat berupa pembelajaran ulang
seluruh atau sebagian, tergantung jumlah dan jenis kesulitan yang
dihadapi, atau mencari alternatif lain untuk mengatasi bagian yang belum
dipahami, dengan pengayaan membaca referensi lain yang lebih lebih
lengkap/sederhana mudah dipahami. Jika cara-cara ini tetap tidak
memecahkan kesulitan belajar pada seseorang atau sejumlah
siswa/mahasiswa di bawah 25%, tentu saja diberikan kesempatan untuk
mengulang pada semester yang sama tahun berikutnya atau waktu
tersendiri/semester peralihan. Jika yang mengalami kesulitan belajar
lebih dari 25% jumlah siswa/mahasiswa, perbaikan terjadi pada pihak
guru/pendidik, mungkin setelah saling dikaji, ternyata materinya
kurang tepat, atau terlalu sulit dimengerti atau cara penyampaiannya
kurang jelas. Pengkajian tidak hanya oleh pakar/teman sejawat, atau
atasan, tetapi yang lebih diutamakan secara kolaboratif bersama peserta
kuliah.
Pembelajaran tuntas ini menuntut fasilitas dan jumlah
mahasiswa yang kondisif. Oleh karena memerlukan layanan perorangan
diperlukan jumlah mahasiswa tidak melebihi 25 orang, ada ruang khusus
untuk berdialog dengan peserta didik atau memberikan layanan khusus
perorangan. Perlu ruang diskusi, perlu referensi.
Sikap pembelajaran
koopratif dan kolaboratif yang memposisikan peserta didik sebagai mitra
belajar dapat menjadikan lembaga pendidikan telah memberikan andil dalam
pembentukan karakter yang positif. Sikap ancaman baik kepada peserta
didik maupun pendidik secara vertikal merupakan tindak yang tidak
menguntungkan dalam pembentukan karakter.
Bagaimana dengan Pembelajaran Berbasis ICT (Information Communication Technology) dengan Pendidikan Pembentukan Karakter?
ICT
menawarkan beragam bentuk pemanfaatan dalam sistem pembelajaran pada
khususnya dan pembelajaran pada umumnya, yaitu Computer Assisted
Instruction (CAI), Computer Managed Learning (CML), dan Computer
Mediated Communication (CMC). CAI atau pembelajaran berbantuan komputer
biasanya merupakan aplikasi program komputer yang sudah dirancang khusus
untuk pembelajaran. CAI dirancang berdasarkan "programmed instruction"
dari Skinner. CAI memiliki karakteristik yang berbasiskan komputer,
sehingga program dapat berbentuk disket atau CD yang dapat dibawa
kemana-mana oleh mahasiswa. CAI sangat tepat untuk simulasi dan drill
and practice. Sementara itu, CML memberikan kemudahan kepada dosen/guru
untuk mengelola data perkuliahan menggunakan komputer dan program
aplikasinya.
Dengan CML, dosen/guru dapat merancang basis data
yang dapat memperlihatkan "track record" mahasiswa (misalnya menggunakan
program MS Excell atau MS Access), seperti kemajuan skor mahasiswa dari
waktu ke waktu. CMC sudah berbasis jaringan, artinya jika ingin
menggunakan CMC, maka komputer guru/dosen harus sudah terkoneksi pada
jaringan internet. CMC biasa digunakan untuk komunikasi, yaitu e-mail,
chatting, atau browsing.
Bentuk pemanfaatan ICT yang mutakhir
dalam pembelajaran adalah proses pembelajaran maya atau yang dikenal
dengan istilah virtual learning (dikenal juga sebagai e-learning).
Proses pembelajaran maya terjadi pada kelas maya (virtual classroom) dan
atau universitas maya (virtual university) yang berada dalam
cyberspace (dunia cyber) melalui jaringan internet. Proses
pembelajaran maya berintikan keterpisahan ruang dan waktu antara
mahasiswa dan dosen, serta sistem belajar terbuka - yang berintikan
akses yang terbuka dan kebebasan memilih ragam sumber belajar serta alur
proses belajar oleh mahasiswa. Pembelajaran maya yang memanfaatkan the
world wide web (WWW) pada prinsipnya memberikan apa yang diinginkan
setiap orang (dalam beragam bentuk), di tempat yang diinginkannya, pada
saat yang diinginkannya (to give what people want, where they want it,
and when they want it - www)
Pembelajaran maya juga berbasis
jaringan, serta jauh lebih canggih dari CMC, karena memiliki fitur CAI,
CML, dan CMC sekaligus dalam bentuk e-text, e-test, e-interaction,
e-assignment, e-track record, atau dalam bentuk e-course (dikenal juga
sebagai "web-based course" atau "online course") sebagai suatu mata
kuliah utuh berbasiskan jaringan dan multimedia. Dengan demikian,
mahasiswa dapat memperoleh bahan ajar yang sudah dirancang dalam
paket-paket pembelajaran yang tersedia dalam situs maya. Biasanya bahan
ajar disediakan dalam bentuk multimedia terpadu, dengan kemungkinan
untuk mencetak bagian-bagian tertentu pada printer seseorang.
Mahasiswa
dapat mempelajari bahan ajar tersebut sendiri, tanpa bantuan belajar
apapun atau dari siapapun. Jika diperlukan, mahasiswa dapat memperoleh
bantuan belajar dalam bentuk interaksi yang difasilitasikan oleh
komputer, yaitu belajar berbantuan komputer (computer assisted learning,
atau interactive web pages), belajar berbantuan teanga pengajar secara
synchronous (dalam titik waktu yang sama), maupun asynchronous (dalam
titik waktu yang berbeda), dan atau belajar berbantuan sumber belajar
lain seperti teman dan pakar melalui surat elektronik (e-mail), diskusi
(chat-room), perpustakaan (melalui kunjungan ke situs-situs basis
informasi yang ada dalam jaringan internet). Di samping itu, mahasiswa
juga memiliki catatan-catatan pribadi dalam note-book. Penilaian hasil
belajar mahasiswa (web-based evaluation) juga dapat dilakukan secara
terbuka melalui komputer - kapan saja mahasiswa merasa siap untuk
dinilai (atau embedded/terintegrasi dalam virtual course).
Secara
umum, proses pembelajaran maya dapat menjadi sistem pembelajaran
mandiri (instructor independent), atau juga digabungkan dengan proses
pembelajaran langsung (tatap muka di kelas) yang mengandalkan kehadiran
dosen (instructor dependent). Apapun bentuknya, pemanfaatan ICT dalam
pembelajaran membawa perubahan tradisi atau budaya pembelajaran. Dalam
pembelajaran berbasis ICT, peran dosen sebagai "the sole authority of
knowledge" berubah menjadi fasilitator bagi mahasiswa untuk berinteraksi
dengan berbagai sumber belajar dan bersama mahasiswa menemukan berbagai
sumber belajar dan informasi terkini dalam bidang ilmunya.
Peranan
ICT dalam pembentukan karakter bisa berdampak terbalik jika tidak
digunakan secara bijak. Ada slogan "Good technology in the hands poor
teachers can do more harm than goods". Karakter sifat-sifat kejiwaan
yang dapat dibentuk melalui interaksi kejiwaan pula dalam hubungan
kasih. Secanggih apa pun ICT adalah media yang tiada berjiwa. ICT sangat
membantu untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat
menolong dalam pembentukan karakter. Ilmu pengetahuan dapat membentuk
karakter yang baik jika digunakan secara bijak.
Sumber: http://kupang.tribunnews.com/2012/03/27/pendidikan-berbasis-pembentukan-karakter-bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar