Minggu, 21 Oktober 2012

PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

GAGASAN dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun di masa depan pendidikan itu selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan sosial-budaya dan perkembangan IPTEK.

Dewasa ini sedang didengungkannya sistem pendidikan di Indonesia yang berbasis kepada pembentukan karakter. Para cendikia dan pemegang kebijakan mulai menyadari bahwa karakter bangsa kita perlu dibenahi. Mengapa dibenahi? Lihat saja negara kita berada pada peringkat atas dalam tindak korupsi. Yang menarik lagi peringkat pertama tindak korupsi itu di lembaga pendidikan, disusul Kementerian Agama. Karakter bangsa kita memalukan di muka dunia. Lihat saja sikap anggota dewan, yang tertidur waktu sidang, atau sangat agresip tanpa santun hingga baku hantam, tindak anarkis para demonstran.

Polisi membunuh polisi, istri membunuh suami, suami membunuh istri, bahkan anak membunuh ayah kandungnya gara-gara minta HP. Perilaku semacam ini menunjukkan bahwa pedidikan bangsa kita belum berhasil, kalau tidak dikatakan gagal, untuk membentuk bangsa adiluhung/berbudaya luhur di mata dunia. Dengan kondisi yang memprihatinkan, dewasa ini dikembangkannya sistem pendidikan yang berbasis kepada pembentukan karakter.

Apa dan Bagaimana Pendidikan Berbasis Pembentukan Karakter?
Dengan ditetapkan pendidikan yang berbasis kepada pembentukan karakter bangsa ini mengingatkan kembali kepada Bapak Proklamator Soekarno  dengan slogannya "Nation Charackter Buildings" dalam setiap pidatonya yang berapi-api, ingin menjadikan bangsa kita sebagai bangsa pejuang, yang mementing kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, yang dinamis, pantang menyerah, jujur, tertib sebagai bangsa religius yang adiluhung, mampu berdiri di atas  kaki sendiri.

Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain yang sering disebut juga tabiat, atau watak. Apakah tabiat/seseorang terbentuk akibat dari pendidikan atau bawaan/kodrati. Banyak pendapat bagaimana karakter seseorang terbentuk/dibentuk.

Aliran-aliran klasik yang meliputi aliran empirisme, nativisme, naturalisme dan konvergensi merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub tersebut, yang dapat dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.

Nativisme (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Secara ekstrim Rosseou bahkan menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik, dan tidak satupun dengan pembawaan buruk. Namun pembawaan baik itu akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan.

Tidak jauh berbeda dengan halnya natuarlisme Rosseou,  penganut nativisme Arthur Schaupenhauer (1788-1860)  sedikit lebih lentur menyatakan bahwa, faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan. Untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatihan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.

Kelompok empirisme dan behaviorisme berpandangan di kutub lain bahwa tabiat/watak manusia itu terbentuk dan dibentuk sebagai akibat masukan dari luar dirinnya, baik masukan itu disengajakan maupun secara alami. Pengalaman menjadi dasar utama terbentuknya kepribadian seseorang.  Tokoh perintis pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704) yang mengembangkan teori Tabula rasa anak lahir di dunia bagaikan meja lilin atau kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan empirisme (biasa pula disebut environtalisme) pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab pendidikan dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu dapat membentuk perilaku yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Kedua kutub pandangan tersebut dipertemukan dengan aliran konvergensi yang dipelopori William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu.

Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk pengembangan itu. Sebagai contoh pada hakikatnya kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata, adalah juga hasil konvergensi. Setiap manusia mempunyai pembawaan untuk berbicara dan melalui situasi lingkungannya anak belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Oleh karena itu, anak mula-mula mengguna-kan bahasa lingkungannya.

Bagaimana Peranan Lembaga Pendidikan dalam Membentuk karakter Peserta Didiknya?
Berbagai pandangan di atas menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, kursus-kursus, dan lemabaga perlatihan) tidak begitu banyak/bukan satu-satunya yang memberikan andil dalam pembentukan karakter. Sekalipun pandangan kaum behaviorisme/empirisme bahwa faktor penentu karakter tergantung kepada masukan dan pengalaman empirik, toh lembaga pendidikan bukan satu-satunya sumber pemberi masukan dan pengalamaan. Masukan/input pembentuk karakter yang paling besar adalah keluarga, diikuti lingkungan (alam dan masyarakat), baru lembaga-lembaga formal pendidikan (sekolah). Tidak sedikit anak-anak dari orang kaya/pengusaha besar, bahkan pejabat yang berkarakter memalukan orang tuanya/sekolahnya, karena kehidupan sehari-hari dalam keluarganya hanya dengaan pembantu rumah tangga saking sibuknya kedua orang tuanya.

Mereka juga banyak bergaul dengan preman untuk mendapat kebebasan, perlindungan. Akan tetapi,  juga tidak sedikit anak-anak dari orang besahaja bisa berkarakter sangat baik, bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, santun, penuh kasih sayang, menghormati orang lain, rajin, tertib, disiplin, mau bekerja keras, pantang menyerah, merendahkan diri dan mampu mengendalikan diri walaupun prestasi belajarnya melebihi yang lain.

Sebenarnya sistem lembaga pendidikan di Indonesia terus-menerus dibenahi agar berperan besar dalam menjadi anak bangsa ini berkarakter baik. Sejak diberlakukan PPSI hingga KTSP plus Pendidikan berkarakter,  sistemnya semakin oke saja. Bahkan tenaga pengajarnya pun ditingkatkan statusnya menjadi TENAGA PENDIDIK PROFESIONAL, dengan diberi tunjangan profesi sebesar gaji pokoknya. Apakah kiat ini akan mengubah prinsip-prinsip proses terbentuk karakter manusia. Tentu saja tidak. Tapi barangkali sekolah akan memiliki peranan besar dalam pembentukan karakter jika didukung oleh orang tua/keluarga anak, lingkungan (alam dan masyarakat), kondisi lembaga pendidikan, dan kebijakan.

Namun, sering terjadi penyimpangan sistem, pemegang kuasa kebijakan berupaya untuk memperoleh nama baik di depan masyarakat/keberuntungan dan kemajuan lembaganya. Sebagai contoh ada beberapa perguruan tinggi swasta yang memberikan kemudahan-kemudahan terhadap mahasiswa/calon mahasiswa. Mahasiswa di perguruan tingginya lulus dengan IPK paling rendah 3 dengan masa studi paling lama 8 semester. Tak pelak, pergurun tinggi semacam ini memiliki jumlah mahasiswa yang fantatis, bisa dibayangkan untuk satu program studi dalam tiap tahun angkatan yang diterima mencapai 13 kelas paralel, per kelas 50 hingga 60 mahasiswa (tanpa seleksi). Kondisi yang tidak rasional dengan infrastruktur maupun dosen tetapnya.

Bagaimana Prinsip KBK/KTSP dengan Belajar Tuntas (Mastering Learning) dalam Pembentukan Karakter?
Sistem pembelajaran ini mempunyai andil yang sangat positif untuk menghasilkan lulusan yang berkarakter baik, asal dilaksanakan secara bersungguh-sungguh dengan persyaratannya.  Prinsip pembelajaran tuntas antara lain menggariskan bahwa setiap satuan materi hendaknya terserap oleh peserta didiknya secara tuntas. Ukuran ketuntasannya adalah serendah-rendahnya 75% dari semua indikator pembelajaran terserap oleh peserta didiknya. Jika belum tuntas terserap hingga 75%, perlu diadakan perbaikan-perbaikan (remidial). Remidial bukan berarti ujian ulang, tetapi perlu diadakan diagnosis baik dalam kelompok atau perorangan, apa saja yang menyebabkan topik tertentu belum dipahami.  Dalam hal ini bukan berarti guru memaksakan kehendaknya tetapi sebagai konselor, motivator mitra belajar agar mampu membedah kesulitan belajar siswa atau mahasiswa yang dihadapinya, secara jujur, terbuka, bersahabat.

Kondisi yang diciptakan adalah agar mereka termotivasi mencari ilmu pengetahuan bukan skor tesnya semata. Remidial dapat berupa pembelajaran ulang seluruh atau sebagian, tergantung jumlah dan jenis kesulitan yang dihadapi, atau mencari alternatif lain untuk mengatasi bagian yang belum dipahami, dengan pengayaan membaca referensi lain yang lebih lebih lengkap/sederhana mudah dipahami. Jika cara-cara ini tetap tidak memecahkan kesulitan belajar pada seseorang atau sejumlah siswa/mahasiswa di bawah 25%, tentu saja diberikan kesempatan untuk mengulang pada semester yang sama tahun berikutnya atau waktu tersendiri/semester peralihan. Jika yang mengalami kesulitan belajar lebih dari 25% jumlah siswa/mahasiswa, perbaikan terjadi pada pihak guru/pendidik,  mungkin setelah saling dikaji,  ternyata materinya kurang tepat, atau terlalu sulit dimengerti atau cara  penyampaiannya kurang jelas. Pengkajian tidak hanya oleh pakar/teman sejawat, atau atasan, tetapi yang lebih diutamakan secara kolaboratif bersama peserta kuliah.

Pembelajaran tuntas ini menuntut fasilitas dan jumlah mahasiswa yang kondisif. Oleh karena memerlukan layanan perorangan diperlukan jumlah mahasiswa tidak melebihi 25 orang, ada ruang khusus untuk berdialog dengan peserta didik atau memberikan layanan khusus perorangan. Perlu ruang diskusi, perlu referensi.
Sikap pembelajaran koopratif dan kolaboratif yang memposisikan peserta didik sebagai mitra belajar dapat menjadikan lembaga pendidikan telah memberikan andil dalam pembentukan karakter yang positif. Sikap ancaman baik kepada peserta didik maupun pendidik secara vertikal merupakan tindak yang tidak menguntungkan dalam pembentukan karakter.

Bagaimana dengan Pembelajaran Berbasis ICT (Information Communication Technology) dengan Pendidikan Pembentukan Karakter?
ICT menawarkan beragam bentuk pemanfaatan dalam sistem pembelajaran pada khususnya dan pembelajaran pada umumnya, yaitu Computer Assisted Instruction (CAI), Computer Managed Learning (CML), dan Computer Mediated Communication (CMC). CAI atau pembelajaran berbantuan komputer biasanya merupakan aplikasi program komputer yang sudah dirancang khusus untuk pembelajaran.  CAI dirancang berdasarkan "programmed instruction" dari Skinner. CAI memiliki karakteristik yang berbasiskan komputer, sehingga program dapat berbentuk disket atau CD yang dapat dibawa kemana-mana oleh mahasiswa.  CAI sangat tepat untuk simulasi dan drill and practice. Sementara itu, CML memberikan kemudahan kepada dosen/guru untuk mengelola data perkuliahan menggunakan komputer dan program aplikasinya.

Dengan CML, dosen/guru dapat merancang basis data yang dapat memperlihatkan "track record" mahasiswa (misalnya menggunakan program MS Excell atau MS Access), seperti kemajuan skor mahasiswa dari waktu ke waktu.  CMC sudah berbasis jaringan, artinya jika ingin menggunakan CMC, maka komputer guru/dosen harus sudah terkoneksi pada jaringan internet.  CMC biasa digunakan untuk komunikasi, yaitu e-mail, chatting, atau browsing.

Bentuk pemanfaatan ICT yang mutakhir dalam pembelajaran adalah proses pembelajaran maya atau yang dikenal dengan istilah virtual learning (dikenal juga sebagai e-learning).  Proses pembelajaran maya terjadi pada kelas maya (virtual classroom) dan atau universitas maya (virtual university) yang berada dalam cyberspace  (dunia cyber) melalui jaringan internet.  Proses pembelajaran maya berintikan keterpisahan ruang dan waktu antara mahasiswa dan dosen, serta sistem belajar terbuka - yang berintikan akses yang terbuka dan kebebasan memilih ragam sumber belajar serta alur proses belajar oleh mahasiswa. Pembelajaran maya yang memanfaatkan the world wide web (WWW) pada prinsipnya memberikan apa yang diinginkan setiap orang (dalam beragam bentuk), di tempat yang diinginkannya, pada saat yang diinginkannya (to give what people want, where they want it, and when they want it - www)

Pembelajaran maya juga berbasis jaringan, serta jauh lebih canggih dari CMC, karena memiliki fitur CAI, CML, dan CMC sekaligus dalam bentuk e-text, e-test, e-interaction, e-assignment, e-track record, atau dalam bentuk e-course (dikenal juga sebagai "web-based course" atau "online course") sebagai suatu mata kuliah utuh berbasiskan jaringan dan multimedia. Dengan demikian, mahasiswa dapat memperoleh bahan ajar yang sudah dirancang dalam paket-paket pembelajaran yang tersedia dalam situs maya. Biasanya bahan ajar disediakan dalam bentuk multimedia terpadu, dengan kemungkinan untuk mencetak bagian-bagian tertentu pada printer seseorang.

Mahasiswa dapat mempelajari bahan ajar tersebut sendiri, tanpa bantuan belajar apapun atau dari siapapun.  Jika diperlukan, mahasiswa dapat memperoleh bantuan belajar dalam bentuk interaksi yang difasilitasikan oleh komputer, yaitu belajar berbantuan komputer (computer assisted learning, atau interactive web pages), belajar berbantuan teanga pengajar secara synchronous (dalam titik waktu yang sama), maupun asynchronous (dalam titik waktu yang berbeda), dan atau belajar berbantuan sumber belajar lain seperti teman dan pakar melalui surat elektronik (e-mail), diskusi (chat-room), perpustakaan (melalui kunjungan ke situs-situs basis informasi yang ada dalam jaringan internet).  Di samping itu, mahasiswa juga memiliki catatan-catatan pribadi dalam note-book.  Penilaian hasil belajar mahasiswa (web-based evaluation) juga dapat dilakukan secara terbuka melalui komputer - kapan saja mahasiswa merasa siap untuk dinilai (atau embedded/terintegrasi dalam virtual course).

Secara umum, proses pembelajaran maya dapat menjadi sistem pembelajaran mandiri (instructor independent), atau juga digabungkan dengan proses pembelajaran langsung (tatap muka di kelas) yang mengandalkan kehadiran dosen (instructor dependent). Apapun bentuknya, pemanfaatan ICT dalam pembelajaran membawa perubahan tradisi atau budaya pembelajaran.  Dalam pembelajaran berbasis ICT,  peran dosen sebagai "the sole authority of knowledge" berubah menjadi fasilitator bagi mahasiswa untuk berinteraksi dengan berbagai sumber belajar dan bersama mahasiswa menemukan berbagai sumber belajar dan informasi terkini dalam bidang ilmunya.

Peranan ICT dalam pembentukan karakter bisa berdampak terbalik jika tidak digunakan secara bijak. Ada slogan "Good technology in the hands poor teachers can do more harm than goods". Karakter sifat-sifat  kejiwaan yang dapat dibentuk melalui interaksi kejiwaan pula dalam hubungan kasih. Secanggih apa pun ICT adalah media yang tiada berjiwa. ICT sangat membantu untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat menolong dalam pembentukan karakter. Ilmu pengetahuan dapat membentuk karakter yang baik jika digunakan secara bijak.

Sumber: http://kupang.tribunnews.com/2012/03/27/pendidikan-berbasis-pembentukan-karakter-bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar